NKRI

INDONESIA.

HUR RI

Dirgahayu Indonesia.

Media Ilmu.

https://mediailmupandu.blogspot.com

Pancasila

Dasar Negara.

Pendidikan

Education.

Tuesday 7 January 2014

“Corak Dinasti politik dan Politik Dinasti Pada Pejabat Di Indonesia”


Pada tataran teori, dinasti politik bukanlah sebuah kesalahan. Dinasti politik baru menjadi sistem yang harus diperangi jika sebuah keluarga melakukan penguasaan sumber daya untuk keuntungan kelompoknya sendiri. Sebab ini berarti bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi yang mengutamakan kepentingan rakyat. Tapi jika ada beberapa kepala daerah yang kebetulan bersaudara, namun benar-benar bekerja untuk kesejahteraan rakyat, tentunya tidak salah.
Namun harus ada pembatasan melalui undang-undang. Jika tidak, maka regenersi kepemimpinan tidak akan muncul dari lingkaran lain. "Stok pemimpin ya itu-itu saja. Indonesia ini, jika dibiarkan akan dikuasai tiga keluarga, yaitu keluarga Soekarno, Susilo Bambang Yudhoyono dan Soeharto”. Selain regulasi, pengendali dinasti politik adalah partai. Dalam hal partai politik harus memiliki standar baku dalam rekruitmen dan promosi kader untuk memastikan semua orang punya hak yang sama dalam kompetisi. Kalau SOP sudah diterapkan, dan yang terpilih tetap anggota keluarga, ya berarti memang layak.
Sebuah keluarga bisa disebut sebagai dinasti politik jika menjalankan birokrasi seperti perusahaan. Artinya, melangkah secara serampangan tanpa memperhatikan peraturan.
Dinasti politik syah-syah saja, apabila dinasti itu dibangun dengan niat dan tujuan untuk kesejahteraan rakyat. Atau tujuan yang lebih tinggi lagi hanya mengharap ridha Allah itu sangat tidak menyalahi aturan. Megawati Soekarno Puteri, walaupun tak semenonjol Ratu Atut, semasa menjabat presiden juga membangun dinasti politiknya, tapi masih dalam batas kewajaran. Di sinilah masalahnya, kadang orang tak sadar sudah melewati batas-batas kewajaran.
Dinasti Atut mengawinkan birokrasi dengan perusahaan dengan hampir semua anggota keluarganya terlibat dalam proyek pemerintah . Yang membedakan dinasti politik dan politik dinasti ialah, Dinasti politik mengacu pada aktor politik yang memiliki hubungan kekerabatan tanpa memperhitungkan sistem politik dimana anggota dinasti itu memegang posisi-posisi penting dalam pemerintahan. Sedangkan politik dinasti menunjuk pada perilaku politik yang menggunakan ikatan kekeluargaan sebagai modal sosial untuk mendapatkan atau menjalankan kekuasaan.

Dinasti politik bukan suatu penyimpangan, melainkan lebih mencerminkan sebagai produk dari budaya politik masyarakat. Berbeda dengan politik dinasti yang monopolistik dan jelas tidak sesuai dengan nilai-nilai demokrasi.

Relevansi Pendekatan Realisme dalam Study Hubungan Internasional

Realisme merupakan salah satu pendekatan dalam study hubungan internasional dimana asumsi dasar dari kaum realisme adalah bahwa manusia itu jahat dan di dalam hubungan internasional pada dasarnya sangatlah konfliktual dan akhirnya dapat menimbulkan perang. Karena kemungkinan perang inilah realis mengatakan bahwa negara harus memiliki great power untuk pertahanan dan keamanan nasionalnya. Pada dasarnya realisme mengutamakan kebijakan luar negeri, kekuatan militer yang besar dan penekanan pada nasionalisme. Aktor utama dalam realisme adalah negara, karena inilah realisme bersifat state sentric. Setiap negara mempunyai kepentingan nasional yang dipenuhinya, disinilah untuk memenuhi kepentingan nasionalnya, negara harus mempunyai kekuatan yang besar. Kaum realis mengatakan bahwa manusia dan negara selalu ingin menguasai dan ingin meningkatkan kekuasaannya, dimana negara akan bertindak cost-benefit dan tidak akan ada negara yang bersedia berkorban demi negara lain. Karena itulah untuk mencegah perang perlu diciptakan balance of power yang digunakan untuk menakut-nakuti negara agar tidak menyerang negara lain karena kekuatannya seimbang. Realis telah berasumsi bahwa pada dasarnya manusia adalah jahat sehingga disini sangat minim sekali untuk terjadinya kerja sama (cooperation). Meskipun dimungkinkan terjadi kerjaama, sebenarnya kerjasama itu bukanlah murni sebuah kerjasama akan tetapi kerjasama itu terjadi karena adanya kepentingan nasional dari masing-masing negara. Apabila negara tersebut mempunyai great power maka negara itulah yang akan lebih mempunyai kekuasaan dan dapat memenuhi national interestnya. Karena inilah realis mengatakan bahwa negara-negara tersebut mengejar power hanya demi keuntungan. Pada realisme terdapat tiga kesepahaman yang disebut dengan Triple S yaitu Statism, Survival, dan Self-help.

Teori Pendekatan Hubungan Internasional

Teori Pendekatan Hubungan Internasional
1.      Pertama Teori Hubungan Internasional yaitu liberalisme, teori ini muncul setelah Perang Dunia I untuk menanggapi ketidakmampuan negara-negara untuk mengontrol dan membatasi perang dalam hubungan internasional mereka. Pendukung-pendukung awal teori ini termasuk Woodrow Wilson dan Normal Angell. Mereka beranggapan bahwa negara-negara mendapatkan keuntungan dari satu sama lain lewat kerjasama dan perang itu dianggap terlalu destruktif, atau bisa dikatakan sebagai hal yang pada dasarnya sia-sia. Liberalisme tidak diakui sebagai teori yang terpadu sampai paham tersebut bersifat secara kolektif, bahkan seringkali diejek sebagai idealisme oleh E.H. Carr. Lantas sebuah versi baru idealisme yang berpusat pada hak-hak asasi manusia sebagai dasar legitimasi hukum internasional dikemukakan oleh Hans Kochler.
2.      Kedua Teori Hubungan Internasional yaitu realisme, sebagai tanggapan terhadap liberalisme, pada intinya menyangkal bahwa negara-negara berusaha untuk bekerja sama. Para realis awal seperti E.H. Carr, Daniel Bernhard dan Hans Morgenthau menyatakan bahwa untuk meningkatkan keamanan mereka, negara-negara adalah aktor-aktor rasional yang berusaha mencari kekuasaan dan tertarik kepada kepentingan nasional mereka masing-masing (self-interested). Setiap kerja sama antar negara-negara dijelaskan sebagai aktivitas yang benar-benar insidental. Para realis melihat meletusnya Perang Dunia II sebagai pembuktian terhadap teori mereka.